Selasa, 12 Juni 2012

PERBATASAN INDONESIA

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-Nasional 2004-2009) telah menetapkan arah dan pengembangan wilayah Perbatasan Negara sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Pembangunan wilayah perbatasan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan misi pembangunan nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah, pertahanan keamanan nasional, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah perbatasan. Paradigma baru, pengembangan wilayah-wilayah perbatasan adalah dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi “inward looking”, menjadi “outward looking” sehingga wilayah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan wilayah Perbatasan Negara menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dengan tidak meninggalkan pendekatan keamanan (security approach). Sedangkan program pengembangan wilayah perbatasan (RPJM Nasional 2004-2009), bertujuan untuk : (a) menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh Hukum Internasional; (b) meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Disamping itu permasalahan perbatasan juga dihadapkan pada permasalahan keamanan seperti separatisme dan maraknya kegiatan-kegiatan ilegal.
Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 (RKP 2006) telah pula menempatkan pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas pertama dalam mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah, dengan program-program antara lain : Percepatan pembangunan prasarana dan sarana di wilayah perbatasan, pulau-pulau kecil terisolir melalui kegiatan : (i) pengarusutamaan DAK untuk wilayah perbatasan, terkait dengan pendidikan, kesehatan, kelautan dan perikanan, irigasi, dan transportasi, (ii) penerapan skim kewajiban layanan publik dan keperintisan untuk transportasi dan kewajiban layanan untuk telekomunikasi serta listrik pedesaan; Pengembangan ekonomi di wilayah Perbatasan Negara; Peningkatan keamanan dan kelancaran lalu lintas orang dan barang di wilayah perbatasan, melalui kegiatan : (i) penetapan garis batas negara dan garis batas administratif, (ii) peningkatan penyediaan fasilitas kapabeanan, keimigrasian, karantina, komunikasi, informasi, dan pertahanan di wilayah Perbatasan Negara (CIQS); Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang secara adminstratif terletak di wilayah Perbatasan Negara.
Komitmen pemerintah melalui kedua produk hukum ini pada kenyataannya belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari segi politik, hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya.
Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan dimasa lalu bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan. Sebagai wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh oleh dinamika sehingga pembangunan dan masyarakatnya pada umumnya miskin dan banyak yang berorientasi kepada negara tetangga. Di lain pihak, salah satu negara tetangga yaitu Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Demikian juga Timor Leste, tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang dalam waktu yang relatif singkat, melalui pemanfaatan dukungan internasional, akan menjadi negara yang berkembang pesat, sehingga jika tidak diantisipasi provinsi NTT yang ada di perbatasan dengan negara tersebut akan tetap tertinggal.
Dengan berlakunya perdagangan bebas baik ASEAN maupun internasional serta kesepakatan serta kerjasama ekonomi baik regional maupun bilateral, maka peluang ekonomi di beberapa wilayah perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan wilayah tersebut. Kerjasama sub-regional seperti AFTA (Asean Free Trade Area), IMS-GT (Indonesia Malaysia Singapura Growth Triangle), IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle), BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina-East Asian Growth Area) dan AIDA (Australia Indonesia Development Area) perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga memberikan keuntungan kedua belah pihak secara seimbang. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional dan sub-regional tersebut Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga yang menyebabkan sumberdaya alam yang tersedia terutama di wilayah perbatasan akan tersedot keluar tanpa memberikan keuntungan bagai masyarakat dan pemerintah. Sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan sub-regional perlu disiapkan. Penyediaan sarana dan prasarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar, oleh karena itu diperlukan penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya.
Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan ini diharapkan dapat memberikan prinsip-prinsip pengembangan wilayah Perbatasan Negara sesuai dengan karakteristik fungsionalnya untuk mengejar ketertinggalan dari daerah di sekitarnya yang lebih berkembang ataupun untuk mensinergikan dengan perkembangan negara tetangga. Selain itu, kebijakan dan strategi ini nantinya juga ditujukan untuk menjaga atau mengamankan wilayah Perbatasan Negara dari upaya-upaya eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang dilakukan dengan dorongan kepentingan negara tetangga, sehingga kegiatan ekonomi dapat dilakukan secara lebih selektif dan optimal.

Menurut TZMKO 1939
Wilayah Indonesia pada saat merdeka masih berlaku peraturan tentang wilayah teritorial yang dibuat oleh Belanda yaitu “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939” (TZMKO 1939), dimana lebar laut wilayah/teritorial Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah masing-masing pulau Indonesia. Tetapi TZMKO 1939 tidak menjamin kesatuan wilayah Indonesia sebab wilayah Indonesia menjadi terpisah-pisah.
Deklarasi Djuanda 1957
Pada tgl. 13 Desember 1957 pemerintah mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang isinya :
1. Segala perairan disekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang luas/lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Indonesia.
2. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.
3. Batas laut territorial adalah 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau negara Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang wilayah perairan lautnya lebih luas dari pada wilayah daratannya, maka peranan wilayah laut menjadi sangat penting bagi kehidupan bangsa dan negara.
UNCLOS 1982 : Tentang Hak Laut
Sebagaimana kita ketahui bahwa saat ini Indonesia memiliki wilayah perairan terbesar di dunia dan dua pertiga dari wilayahnya merupakan wilayah perairan. Secara geografis Indonesia merupakan negara maritim, yang memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0.8 juta km, laut nusantara 2.3 juta km dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta km. Disamping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km. Pada saat Indonesia diproklamasikan sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17Agustus 1945 oleh dwi-tunggal Soekarno-Hatta, Indonesia merupakan negara yang terdiri atas beribu pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dan dapat disebut sebagai negara pulau-pulau. Undang-undang Dasar 1945 yang resmi diberlakukan pada tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuand alam bentuk republik, namun sayangnya ketika itu tidak disebutkan batas-batas wilayah nasional Indonesia sesungguhnya. Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep “Negara Kepulauan” untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) III, sehingga dalam “The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982” dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan, konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai Negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs ). Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita. .Menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesi.
Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut maka membawa konsekuensi logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang harus dilaksanakan berupa hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan Indonesia berdasarkan hukum internasional. Kini UNCLOS 1982 telah berjalan selama 25 tahun, tentu sebagai Negara Kepulauan sudah saatnya melakukan evaluasi kebijakan tentang apa saja yang telah dilaksanakan dan belum dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat seperti yang telah dicantumkan dalam UNCLOS 1982. Berkenaan dengan hal tersebut, Dewan Kelautan Indonesia sebagai lembaga yang mempunyai fungsi melakukan kajian dan evaluasi kebijakan akan melaksanakan kajian mengenai implementasi dari UNCLOS 1982 terhadap penyelenggaraan pembangunan kelautan Indonesia sebagai Negara Kepulauan.

sumber :
http://kawasan.bappenas.go.id/index.php?catid=36:sub-direktorat-kawasan-khusus-perbatasan&id=98:perbatasan&option=com_content&view=article
http://anomali24.blogspot.com/2012/03/batas-wilayah-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar